Senin, 02 April 2012


PONDOK PESANTREN MODERN
“AL MEDAENG” SIDOARJO



Jumlah napi yang dipenjara di Rumah Tahanan Kelas I Medaeng, dua kali lipat dari kapasitas.  Rutan yang berkapasitas 300-400 orang itu kini justru menampung 950-1.000 narapidana. Bakan menurut Kepala Rutan Medaeng, Joko saat dikunjungi Anggota DPRD Jawa Timur bulan Januari lalu mengatakan bahwa isi rata-rata tiap bulan overkapasitas 200 persen.  Ini menunjukkan bahwa, tindak kriminalitas selalu cenderung meningkat. 

Tanggung jawab pemerintah
Padahal menurut  No. 12 Th. 1995 Tentang Pemasyarakatan pasal 2 dikatakan bahwa, Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. 
Sedangkan pasal 3 dikatakan Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyrakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
Pada prinsipnya, pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan, tidak hanya ditujukan untuk mengayomi masyarakat dari bahaya kejahatan, melainkan juga orang-orang yang salah jalur ini juga perlu diayomi dan diberikan bekal hidup sehingga dapat kembali dan diterima oleh  masyarakat.
Secara umum, pemerintah sudah melaksanakan ketentuan-ketentuan seperti yang termaktub dalam undang-undang.  Melalui para sipir dan seluruh instansi yang terkait dengan lembaga pemasyarakatan, pemerintah mencoba mendidik dan merangkul para napi agar dapat kembali ke jalan yang benar. 
Lembaga Swadaya Masyarakat, lembaga keagamaan serta lembaga-lembaga lain tidak ketinggalan berperan aktif.  Terutama lembaga keagamaan yang getol berkecimpung dalam penjara sampai mengirimkan salah seorang utusannya untuk selalu standby di penjara dalam jangka waktu tertentu sekedar menemani narapidana yang memerlukan dukungan moral dan spiritual.  Pemerintah selalu mencoba membekali napi dengan berbagai keterampilan sesuai bakat dan minat masing-masing.  Plus, kehidupan keberagamaan agar jiwa mereka  tidak kosong oleh cahaya ilahi. 


Kenyataannya, upaya yang dilakukan oleh banyak pihak untuk mewujudkan tujuan seperti tercantum dalam UU tersebut sangatlah sulit.  Penumpukan anggota baru di lapas-lapas seperti mengalir tak terbendung.  Kriminalitas dari para residivis yang kadang jebolan beberapa kali masih meresahkan masyarakat.  Sepertinya, LP justru menjadi semacam kampus baru.  Napi yang kurang canggih dalam melakukan tindak kejahatan, menjadi semakin jagoan setelah keluar karena mendapat mentor yang lebih berpengalaman dari napi senior lainnya.
Mana yang salah?  Apakah pola asuh dan pendidikan dalam penjara kurang bermutu?  Apakah kurikulum kependidikan dan pendekatan keberagamaan masih kurang maksimal?  Atau bahkan mungkin penjara terlalu memanjakan para napi sehingga mereka masih bebas menunjukkan eksistensinya dari bali jeruji?  Pertanyaan-pertanyaan ini sepertinya harus dijawab dan dicari solusinya sesegera mungkin. 

Kehidupan pesantren
Selama masa tahanan (dipenjara), para napi termasuk dalam kategori kekurangan.  Mulai kurangnya kebebasan, kebiasaan atau bahkan makanan.  Inilah konsekuensi bagi pelanggar Undang Undang Negara.  Termasuk, napi yang melakukan tindak pidana yang tidak disengaja sekalipun, mengalami hal sama.
Jika dibandingkan dengan roda kehidupan di pesantren, kondisi napi sepertinya tidak jauh berbeda dalam hal keprihatinan.  Di pesantren para santri diajarkan untuk bertahan dalam menghadapi tantangan kehidupan. Dalam kondisi yang serba kekurangan, para santri justru menjadikannya sebagai pelecut semangat mencari ilmu.  Bagi santri, hidup dalam kondisi “tirakat” memberikan barokah tersendiri bagi ilmu yang didapatnya.
Selain itu, santri sangat percaya, bahwa perut kosong karena berpuasa menjernihkan hati dan pikiran.  Ini diukung oleh bukti-bukti  berupa biografi-biografi tokoh Islam ternama yang menceritakan kehidupan mereka dari kecil sampai dewasa.  Yang tentu saja berkehidupan penuh dengan keterbatasan.  Toh, mereka bisa menjadi orang terkenal sepanjang zaman.
Loyalitas yang tinggi terhadap seorang ustadz atau ustadzah juga menjadi salah satu ciri yang mengakar kuat dalam nuansa Pondok Pesantren. Acap kali, orang yang melihat akan terheran ketika seorang kyai menyuruh santri mengerjakan sesuatu. Tanpa berfikir panjang para santri yang mendapat dawuh atau perintah tersebut, akan mengerjakan tugas yang diamanahkan. Santri tidak terfikir sama sekali tentang imbalan. Keberkahan adalah yang sangat mereka harapkan. Ketika teguran datang dari seorang ustadz maka satu suku kata pun tidak terucap dari mulut para santri. Mereka menyadari dan merenung kesalahan yang dia perbuat. Para santri mencoba untuk mengevaluasi kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat. Hal ini bukan semata-semata absolutisme seorang ustadz atau kyai, tapi pendidikan yang yang mengajarkan betapa pentingnya tanggung jawab dan keberanian menghadapi resiko dari suatu perbuatan yang ditanamkan kepada para santrinya. (Widodo, 2009).

Andaikan semangat pesantren ini bisa diadopsikan ke rutan, alangkah luar biasanya.  Santri napi (sanapi) diwajibkan  melakukan shalat tahajut setiap malam. Termasuk petugas rutan bisa dialihtugaskan menjadi ustadz mendampingi sanapi shalat tahajut. Tentu saja, semua harus dikondisikan sehingga memudahkan pengawasan dan penanganan. 
Setelah shalat subuh, langsung dilanjutkan dengan kajian Alquran.  Disinilah peran pamong sanapi (kalau bisa seorang kyai/ustadz) sangat dibutuhkan.  Beberapa lembaga swadaya masyarakat ada yang sanggup memberikan materi  kajian ini dengan gratis. 
Pagi hari, rutinitas rutin bisa dilakukan.  Mulai dari sarapan, dan bekerja di tempat kegiatan masing-masing sesuai bakat dan minatnya.  Peran LP adalah, bakat dan minat selama di penjara tersebut sebisa mungkin dikaitkan dengan pihak luar.  Contoh saja, bengkel sepeda motor yang dimiliki LP, juga melayani para konsumen dari luar (masyarakat umum).    Pada jam kerja ini, sanapi diwajibkan bekerja sesuai jam kerja dan benar-benar bekerja  delapan jam sehari!  Sehingga tidak ada waktu untuk “ngrumpi” atau berguru kejahatan ke seniornya.
Lepas kerja, istirahat sekaligus persiapan shalat maghrib, shalat magrib berjamaah, dan kajian sampai Isya.  Malam harinya diadakan diskusi atau pembelajaran umum sampai jam sembilan malam.  Setelah itu sanapi diperbolehkan tidur untuk persiapan bangun malam melaksanakan shalat tahajut.
Alangkah indahnya.  Rumah tahanan yang semula seram menjadi penuh dengan ruh ilahiyah.  Bisa jadi, saat keluar dari tahanan banyak sanapi yang menjadi pengasuh di pondok-pondok pesantren.  Anton Medan saja bisa, mengapa yang lain tidak?


0 komentar:

Posting Komentar

Anda Dapat Memberikan Komentar Di Sini