This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 27 April 2012

Essay

 
SURAT UNTUK WAKIL RAKYAT


Kepada, yth:
Wakil rakyat di DPR
Yang penuh harapan
Akan kesejahteraan dan kedamaian rakyat


Bapak/Ibu, wakil saya, wakil kami, wakil semua rakyat yang menunggu-nunggu akan datangnya hari gemilang di masa depan.
Bapak/Ibu, tempat naungan kerinduan rakyat,
Masih segar dalam ingatan saya Bapak, ketika melihat televisi sore hari tentang laporan pembagian zakat.  Betapa ibu-ibu renta itu lemas dan kehabisan nafas, diangkut ambulan dengan drackbar seadanya.  Masih belum hilang juga dari retina mata saya, seorang perempuan kecil lugu, diangkat dari kerumunan kegilaan sambil bergulat dengan ajal.  Tangan kecilnya, meraih-raih lemas mencoba menjangkau sandaran hidup. 
Di bagian lain, seorang ibu hamil, menangis penuh keputusasaan, mencoba melindungi darah daging dalam perutnya, dari himpitan massa.  Seorang tua menggendong cucunya yang masih bayi, berteriak-teriak memohon pertolongan sambil melindungi si cucu kesayangannya, dari hempasan gelombang dan amukan orang-orang yang semakin kesurupan oleh secuil uang.
Tahukah Anda Bapak, Ibu?  Mereka berjuang menantang maut, demi sekedar  menunggu satu titik kecil di tengah himpitan kemiskinan sejumlah Rp 30.000,00,  yang mungkin hanya dapat menghidupi mereka barang satu atau dua hari. Ironis sekali, mengharukan, melarutkan lubuk hati yang paling dalam.  Rakyat kita, sekarang menjadi gila.  Gila oleh kemiskinan dan hilangnya harapan.  Putus asa, tanpa pernah tahu kapan mereka mampu meninggalkan keputusasaan itu. 
Saya terus-menerus berlinang air mata Bapak, Ibu.  Terus-menerus sampai siaran itu digantikan oleh iklan.  Dilanjutkan lagi dan iklan lagi.  Tak terperikan pedihnya hati saya kelak, jika rakyat yang sudah fakir ini semakin tak punya harapan.  Sampai sempat terbayangkan hal buruk, kefakiran itu akan membawa kepada kekafiran. 
Betapa perasaan berdosa itu semakin menghantui diri saya, saat diri ini merasa tidak mampu berbuat apa-apa. Dan semakin pedih saja, ketika sejurus kemudian para “orang pintar” berbicara di TV dengan bahasa saling menyalahkan. 
Mereka dibayar, Pak.  Mereka diberi honor tinggi sekedar berbicara sebentar di TV.  Sementara, disaat “orang pintar” ini menerima amplop honor, di saat yang sama, pencari-pencari  penghidupan itu ada yang sudah meninggal dalam kepapaan.  Seorang generasi penerus bangsa menjadi yatim, seorang ibu tiang negara, menjadi janda.  Dan mereka akan terus berkubang dalam kesengsaraan itu.
Bapak, ibu wakil rakyat, penyambung lidah rakyat. 
Tempat kami para kawula alit ini gantungkan harapan.
Tempat kami para abdi negara ini memendam suka dan duka dalam kesahajaan.
Kami mohon, lihatlah guru-guru yang sudah sepuh dengan segala keterbatasannya.  Guru-guru yang masih muda-muda dengan idealisme tinggi tapi kalah oleh keadaan.  Guru-guru SLB yang penuh dengan kasih sayang, sabar serta telaten.  Merekalah  sokoguru bangsa , Ibu.    Dari merekalah meluncur pemimpin-pemimpin bangsa ini.  Mereka ikhlas dalam terkaman angin dan hujan.    Bahkan dalam raungan kendaraan bermotor dengan asap menebal.  Menuju sekolah, ladang bakti dan pahala.  Hanya niat dan ketulusan yang mereka punya.  Lain itu, tidak ada. 
Ibu tahu?  Betapa mereka selalu kebingungan saat tahun ajaran baru tiba?  Harga buku tulis melangit, seragam membubung tinggi, bahkan iuran sekolah dengan segala tetek bengeknya turut mendentum dalam jantung dan qolbu mereka.  Rupanya dana BOS itu belum cukup juga memberikan ruang waktu bernafas sedikit pada pasak pengeluaran mereka.  Besarnya tunjangan fungsional yang keluar tiap tahun dengan kuota yang super press, sehingga sebagian tidak menerima.  Besarnya tunjangan sertifikasi yang hanya dipunyai oleh kalangan lulusan S1 saja.  Sementara mereka hanya termangu dengan segala kepedihan hati.  Bagaimana tidak?  Mereka tetap belum bisa bersekolah sampai lulus S1 karena ketuaan, kepapaan, meski pengabdian sudah berpuluh tahun.
Perhatikanlah mereka, Pak.  Para guru yang bersusah payah hidup dalam roda zaman yang semakin murka dari hari ke hari.
Para wakil rakyat di dewan
Tempat kami bernaung
Tempat kami menuangkan segala keluh kesah kami
Lihatlah bagaimana para buruh pabrik itu selalu dalam posisi yang kalah dalam bargaining.  Mereka dipenjara dengan “kontrak kerja”.  Dan itulah kondisi sebenarnya.  Bekerja giat sepenuh hati, tapi siap untuk diganti, dan sulit mencari pengganti.  Berapa ratus ribu orang-orang seperti mereka, Pak, Bu?  Padahal merekalah ladang devisa bagi para kontraktor dan investor.  Janganlah dijadikan seperti manisnya tebu, begitu sepah lalu dibuang.  Janganlah dijadikan seperti sapi perah, begitu tua disembelih dan dagingnya dijual murah.  Mereka manusia, Pak, Bu.  Mereka tulang  punggung keluarga.
Pernahkan Anda mendengar jeritan anak mereka di malam dingin saat hujan deras?  Berteriak meminta susu hangat, sementara yang diterimanya “air gula” atau “teh manis”.  Pernahkan Anda mendengar keluhan istri mereka?  Memelas  butuh beras, minyak tanah dan gula.  Sementara yang mereka terima hanyalah ketela, kayu bekas bangunan rusak dan pemanis buatan.  Seberapa kuatkah tubuh mereka bertahan?  Saya tidak dapat membayangkan apa jadinya masa depan bangsa ini jika tubuh rakyatnya hanya terisi makanan seadanya?  Tanpa gizi dan vitamin yang memadai?
Tolonglah Bapak, Ibu.  Kami dalam kondisi kekurangan.  Berikan kami pancing dan kail.  Sehingga kami tetap bermartabat mencari penghidupan yang layak.  Entaskan kami dari kebodohan dengan bantuan sekolah dan alat-alatnya yang murah.  Entaskan kami dari kemiskinan dengan memperhatikan nasib para guru.  Karena merekalah yang membimbing anak-anak kami. Dan entaskan kami dari penjara “kontrak kerja”.  Karena kami ingin anak-anak kami punya sandaran hidup sampai kami tidak kuat lagi bekerja.
Terima kasih bapak, Ibu.  Doa kami selalu menyertai perjuanganmu.


English Version
LETTERS TO THE DEPUTY

Dear:Representatives in the House of RepresentativesA hopefulThe welfare and peace of the people

Mr/Mrs, my representatives, our representatives, representatives of all the people who wait the coming glorious day in the future.Mr / Mrs, where shade longing of the people,Still fresh in my memory Father, when he saw television reports about the division of the evening charity. How old mother was weak and out of breath, were transported by ambulance drackbar potluck. Still have not gone well from the retina of my eye, an innocent little girl, lifted from the madness of the crowd as he wrestled with death. His little hands, groping limp attempt to reach back to live.On the other, a pregnant woman, despairing cry, trying to protect the flesh in his stomach, from the crush of the masses. An old man holding his grandson who was a baby, screaming pleading for help while protecting the beloved grandson, from the raging waves and waves of people getting possessed by a bit of money.Did you know Dad, Mom? They strive to challenge death, to just wait a little dot in the middle of the crush of poverty some Rp 30.000,00, which may only be able to feed them a day or two items. Ironically, moving, dissolving the deepest depths. Our people, now gone mad. Mad by poverty and hopelessness. Despair, never know when they are able to leave despair.I am constantly in tears Mr, Mrs. Broadcast continuously until it is replaced by the advertisement. Continued again and again ad. Unbearable pain of my heart one day, if people are already poor are increasingly hopeless. Until it was unimaginably bad, it will bring poverty to disbelief.What a sense of sin was the haunt me, when it feels itself unable to do anything about it. And the more poignant, when A moment later the "smart people" talking on TV with the language of blame.They are paid, sir. They were given a high honor just to speak briefly on the TV. Meanwhile, while "smart people" received the honor envelope, at the same time, the search-seekers living there who had died in poverty. An orphaned young generation, a pillar of the state capital, became a widow. And they will continue to wallow in misery.Mr/Mrs, representatives of the people, a mouthpiece for the people.The subjects where we are hanging hopes alit.Where we the servants of this country harbored the ups and downs in the simpleness.Please, take a look at the teachers who are elderly with all its limitations. The teachers are still young with high ideals but lost by the state. Special school teachers filled with love, patience and painstaking. They are the pillars of the nation, Mother. They drove from the leaders of this nation. They are sincere in terkaman wind and rain. Even the roar of a motor vehicle with thick smoke. To school, field service and reward. Only intention and sincerity that they have. Another, no.You know? How they are always confused when the new school year arrives? Notebook prices soar, soar uniforms, school tuition, even with all the thunder tits bengeknya participate in their heart and qolbu. BOS funds were apparently not enough to give a little breathing space of time they spend on the pegs. The magnitude of functional benefits that come out every year with a super quotas press, so most do not accept. The amount of benefits that certification is only possessed by the graduates of S1 alone. While they were all just stunned with grief. How not? They still have not been able to attend school until graduation S1 because of aging, poverty, despite decades of devotion have.Consider them, sir. The teachers are struggling to live in the wheel of increasingly angry from day to day.Representatives in the councilWhere we take shelterWhere we pour all our complaintsLook at how the factory workers were always in the losing position in the bargaining. They were imprisoned by the "employment contract". And that's true condition. Work hard all my heart, but ready to be replaced, and it is difficult to find a replacement. How many hundreds of thousands of people like them, sir, ma'am? In fact they are the fields of foreign exchange for the contractors and investors. Do not be like the sweetness of sugar cane, and then discarded as junk. Do not be such as dairy cows, so parents are slaughtered and the meat sold cheap. They are humans, sir, ma'am. They are the backbone of the family.Have you heard the cries of their child on a cold night in heavy rain? Called out for warm milk, while he received "sugar water" or "sweet tea". Have you heard the complaints of their wives? Pleading need rice, kerosene and sugar. While they receive is just sweet, old wooden buildings were damaged, and artificial sweeteners. How strong is their bodies to survive? I can not imagine what would happen if the future of this body of people just filled potluck meal? Without adequate nutrients and vitamins?Please Mr/Mrs. We are in a state of deficiency. Give us a fishing line and hook. So that we remain dignified looking for a decent livelihood. Alleviated with the help of our ignorance of the school and his tools are cheap. Our alleviated from poverty by taking into account the fate of the teachers. Because they are guiding our children. And alleviated us from prison "employment contract". Because we want our children to live until we got back strong no longer works.Thank you, Mrs. Our prayer is always with struggles.

Selasa, 24 April 2012

traveling



Goa Lebar Siap Menerkam
Oleh : Indra Kristika

Saat pulang kampung, saya sempatkan mengantar ibu yang penasaran ingin berkunjung ke “gua lebar” di kota Sampang Madura. Berdasarkan memori masa kecil saya (sekitar tahun 1983), beberapa teman pernah mengajak bermain ke tempat itu. Yang saya temui adalah sebuah lobang besar buatan manusia penuh dengan kesibukan penduduk setempat yang sedang menambang batu kapur untuk batu bata. Sedemikian besarnya lobang itu sehingga saya seperti memasuki dunia lain saat berada di dalamnya. Dan itu tidak sekali dua kali. Namanya anak laki-laki kecil pasti berupaya melakukan eksplorasi menemukan hal-hal baru jauh dari rumahnya. Sehingga saya tahu betul setiap detil dan lekuk gua buatan ini.
Sekitar empat tahun kemudian saat masih berseragam biru putih sempat terdengar berita, sebagian sisi goa runtuh dan menimpa penambang batu gamping yang sedang asyik mencari nafkah. Jelas terbayang kengerian yang luar biasa. Bagaimana tidak, dengan sebegitu banyaknya penambang yang sedang bekerja, kemudian batu seberat ratusan ton runtuh menimbun mereka, bagaikan menginjak cacing dengan sepatu lars tentara. Ajaibnya, hanya tiga orang yang dikabarkan meninggal. Lainnya luka-luka saja.
Goa Lebar Sisi Utara (pintu masuk)
Sejak peristiwa runtuh itu, tidak pernah lagi saya ke areal goa lebar. Apalagi ditunjang studi di Surabaya, semakin menjauhkan saya dari ritual masa kecil (eksplorasi) ke tempat penuh tantangan itu. Sekarangpun, kalau sempat pulang kampung, paling top ke pantai Camplong bersama dua gadis kecil saya yang baru menginjak usia 4 dan 9 tahun.
Tetapi ketika ibu menceritakan penjelasan dari adik saya tentang megahnya goa itu, indahnya pemandangan dari bukit yang ada di atasnya, apalagi dengan tambahan-tambahan irrasional seperti bunyi ombak yang bisa terdengar dari dasar goa, hati saya menjadi tergelitik antara ingin tertawa dan kasihan. Mana mungkin para penambang berani menanggung resiko menembus perut bumi sampai ke pantai! Tapi okelah, sebagai bakti anak kepada ibu, beliau saya antar.
Menjelang sampai lokasi, saya betul-betul terhenyak dengan kondisi di sekitar goa lebar. Jika dulu areal pertambangan itu penuh dengan ladang-ladang jagung menghijau, ilalang liar tinggi menjulang dan tanah bebatuan tajam, kini seperti disulap oleh waktu. Areal pertambangan berkembang pesat di berbagai titik lokasi. Penambang-penambang tradisional menggali sendiri tanah-tanah dan ladang mereka. Alhasil berbagai tempat disepanjang perjalanan penuh dengan lobang-lobang calon “goa lebar” yang baru. Bahkan di satu titik, sebuah galian dengan mesin-mesin modern beraksi dengan gagahnya. Penduduk setempat mengatakan, “itu milik pejabat tinggi di sini, Pak.
Goa Lebar Dari Sisi Timur (tampak kubah masjid Jami' Sampang) 
Sampai di lokasi goa, jalan menanjak menyambut kedatangan kami. Seingat saya dulu jalan setapak penuh bebatuan, kini berubah menjadi aspal dan plester. Bahkan sepeda motor penjual penthol bakso keliling pun bisa naik ke lokasi goa. Itu belum seberapa. Sampai di puncak bukit, kami disuguhi pemandangan sore yang luar biasa. Lanskap kota sampang dengan kubah masjid Jami’-nya yang membiru, rumah-rumah penduduk, sementara di bagian timur penuh dengan ladang menghijau. Benar-benar indah.
Di sekeliling goa lebar, rupanya Pemda Sampang sudah mengemasnya dengan baik. Ada joglo-joglo kecil tempat istirahat, joglo utama di dekat pintu masuk, warung-warung, dan berbagai fasilitas kecil lainnya. Beberapa pemuda setempat dengan ramahnya menyapa serta menjadi guide gratis kami. Dari merekalah kami tahu pintu masuk goa yang sekarang (setelah runtuh), dan kami dapati sebuah patung Sakera tepat di mulut goa memanggul atap goa.
Sebuah ide yang bagus, membangun bekas penambangan menjadi areal pariwisata kecil dengan penataan yang baik. Hanya sayangnya, masih banyak lubang-lubang kecil atau sedang, dengan kedalaman yang luar biasa menganga tanpa pelindung, siap menelan pengunjung yang tidak waspada. Artinya, wisata goa lebar siap menunggu wisatawan dan korban yang terlena.