Senin, 09 Februari 2015




(ANDAIKAN) ADA MUSEUM ANGKUT
DI SAMPANG MADURA

Masih tertanam dalam ingatan saya, masa kecil nan indah di sebuah kampung dekat terminal Sampang, Madura.    Di terminal yang tidak terlalu ramai inilah, awal munculnya jiwa eksplorasi dalam diri anak kampung seperti saya dan teman-teman. 
Siang hari sepulang sekolah, kami berlarian di terminal sambil mencari buah kersen (cerry) yang banyak tumbuh, duduk-duduk di rerumputan dekat kursi tunggu yang panjang membentang, sambil memainkan peralatan yang kami punya.
Sebuah tembok persegi besar berdiri megah dekat menara mirip Rumah Gadang yang bagian dalamnya berisi TV dan di pucuk menara tertera jam besar penanda waktu.  Dan masih teringat pula, tembok besar dekat menara itu bertuliskan “STANPLAATZ SAMPANG”.  Tulisannya bukan memakai logam, tetapi semen yang dibentuk mirip kaligrafi.  Menurut petugas terminal yang sudah beruban waktu itu, kalimat tersebut berasal dari bahasa Belanda yang berarti “Terminal Sampang”.
Entah mengapa, dalam sepengetahuan kami (anak-anak) belum pernah ada kecelakaan di terminal tersebut.  Entah anak tertabrak bus atau angdes.  Tidak ada sama sekali.  Sepinya terminal bukan karena sedikitnya penumpang, melainkan masih banyak ruang terbuka hijau yang rimbun oleh tetumbuhan dan rumput segar meski di dalam lokasi terminal.  Artinya, meski banyak anak bermain, mereka tidak akan masuk jalur kendaraan.  Cukup di lapangan rumput atau di bawah pohon-pohon rindang.  Sangat mengasyikkan.

Ke arah utara tidak jauh dari terminal, berdiri kokoh dan megah bangunan Belanda bertuliskan TREINSTATION.  Di dalam gedung yang sejuk itu, ada tulisan  1 SPOOR” – “2 SPOOR”.  Dalam bayangan kami, tulisan itu bermakna “1 (satu) kereta api  - 2 (dua) kereta api”.  Artinya, hanya ada dua kereta api di Madura.  Yaitu Kereta 1 dan Kereta 2.  Eh, ternyata kami keliru total!  Tulisan tersebut bermakna “Jalur 1 – Jalur 2”.  Kami terkekeh-kekeh saling menyalahkan sesama teman setelah mendapat penjelasan dari Bapak Kepala Stasiun yang juga sudah beruban juga karena sangat senior.
Di stasiun itulah kami sering menaruh “paku usuk” (paku besar untuk atap rumah) di atas rel.  Tentu saja tanpa sepengetahuan petugas stasiun.  Paku itu diikat menggunakan kawat dengan rel sehingga ketika ada kereta melewati dan melindasnya, tidak sampai terlempar jauh.  Hasilnya, paku yang sudah gepeng itu kami jadikan pisau kecil, alat pemotong kuku atau bahkan celurit kecil. 
Jika sudah bosan bermain di sekitar rel, kami melihat kantor operator stasiun lewat jendela besar berhiaskan jeruji besar mirip penjara.  Lewat jendela itulah beberapa alat rumit terbuat dari besi, tembaga, kuningan atau logam lain dibalut kayu, kami lihat.  Ada semacam bel kecil jika ditekan berbunyi “tit tit tit” yang membuat kami takjub.  Baru bertahun kemudian kami mengerti alat tersebut adalah alat pengirim sinyal menggunakan sandi “morse” yang kami dapati setelah menjadi anggota Pramuka. 
Setelah kami besar, berkeluarga, serta merantau di kota-kota lain kami baru sadar, ternyata sebagian besar kenangan kami itu sudah banyak yang hilang.  Stanplaatz  Sampang  berubah menjadi Terminal Sampang yang kerindangan pohon serta kehijauan rumputnya sudah tidak semenarik dulu.  Kantor kepala terminal berganti bangunan baru yang modern tetapi menghilangkan ruh asli saat bangunan bekas peninggalan Belanda hilang.
Di stasiun saya sempat terharu dan menahan agar air mata tidak keluar.  Stasiun itu sudah tidak ada.  Bangunan utamanya memang masih ada, tetapi berganti menjadi toko meubel.  Saat mencoba masuk ke dalamnya, sudah tidak ada lagi rel-rel yang melintang dari utara ke selatan.  Sudah dipenuhi berbagai macam hal yang menghilangkan jejak-jejak sebuah stasiun.
Ah, andaikan stasiun itu masih dijaga dan dirawat.  Alat-alatnya masih lengkap dan dijadikan semacam Museum Angkutan dengan segala pernak-perniknya, ada kereta api yang masih eksis berjalan meski sebagai kereta wisata jarak pendek, termasuk bapak kepala stasiun yang baik hati, tentu kenangan indah itu tidak akan hilang begitu saja.  Tentunya kami masih bisa mengajak anak dan istri berpetualang mengunjungi tempat dimana kami biasa bermain sewaktu kecil, sambil mengenalkan alat transportasi yang ada pada waktu itu.  Anda punya pengalaman lain?





0 komentar:

Posting Komentar

Anda Dapat Memberikan Komentar Di Sini