This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 12 April 2012

Pendidikan Anak


KELEMAHAN MENDIDIK ANAK
LEWAT KONSEP FRIGTENING


            Saat  masih kecil, tentu Anda ingat dengan larangan-larangan atau petuah-petuah dari orang tua kita tentang cara bertindak atau menyikapi  suatu kejadian.  Seperti, jangan bermain-main kalau hari sudah maghrib, banyak setan lewat.  Jangan duduk di atas bantal, nanti bisulan.  Jangan menyapu di malam hari, nanti rumah dilirik maling . Dan lain sebagainya. 
            Dalam mendidik anakpun, banyak kita jumpai larangan dan petuah seperti di atas.  Seperti, jika anak jatuh supaya tidak menangis maka sering orang tua berkata “ Aduh sayang, sudah ya.  Itu kodoknya lari !”.  Atau  jika anak kepalanya terbentur kursi, maka orang tua akan mengatakan,  “Aduh sayang.  Anak bagus.  Yang nakal mana ?  Kursi ya ?  Nih, ibu pukul kursinya”.  Lalu si ibu memukul kursi sambil mengatakan kursi nakal.
            Dalam lingkungan masyarakat pedesaan, kondisi seperti di atas masih banyak kita jumpai.  Dan sepertinya hal-hal seperti itu sudah membudaya hampir di seluruh pelosok pedesaan.  tak peduli dari suku apa saja, sering mempraktekkan pola pendidikan serupa.  Bahkan mungkin ada yang lebih menakutkan lagi dengan mengambil roh halus atau bangsa lelembut sebagai alatnya.
            Adanya keharusan moral bagi anak untuk selalu menurut dengan semua perintah orang tua menjadi dasar bagi suburnya pola pendidikan seperti itu.  Apalagi ditunjang dengan kehidupan feodalisme yang kental, dimana orang tua adalah raja kecil yang paling berkuasa di dalam keluarga.
            Beberapa tahun yang lalu, pola pendidikan serupa (lebih singkatnya kita sebut pola pendidikan frightening) juga terjadi di sebuah kota di Jawa Barat.  Karena kebingungan dengan ulah putrinya, seorang ibu nekat memunculkan pola pendidikan frightening (lewat cerita akan adanya hantu) dengan  harapan sanggup menghentikan sikap sang anak yang dianggap tidak diterima oleh orang tua.

            Contoh lain lagi, di sebuah daerah di Jawa Timur, dulu ada sebuah hutan yang menurut penduduk  sekitar dikatakan sangat angker.  Makanya, tak ada seorangpun yang berani masuk hutan tersebut.  Usut punya usut, ternyata di dalam hutan yang sering mengeluarkan asap tersebut (yang dikiranya hantu/begu) ternyata menyimpan kekayaan alam berupa belerang dengan kapasitas yang luar biasa.  Para penjajah sengaja menghembuskan isyu tersebut agar penduduk tidak melakukan eksplorasi kekayaan alam.
Sebenarnya jika kita melihat lebih teliti, kejadian seperti ini sudah sering terjadi sejak dahulu.  Tetapi dampaknya tidak  seluas dan sehebat sekarang karena terbatasnya sarana komunikasi serta informasi. 
            Kita yang berada di jaman modern sekarang, tentu pola pendidikan kepada anak jelas jauh berbeda dengan cara kita dahulu.  Menjadi orang tua yang efektif sangat diperlukan.  Maksudnya, seperti yang dikatakan oleh Thomas Gordon, orang tua membesarkan anak dengan melatih tanggung jawab, melatih disiplin diri dan kooperatif, tanpa menakut-nakuti.  Setiap orang tua dapat mempengaruhi anak dengan pertimbanngan yang tulus bagi kebutuhan orang tua dan bukan atas dasar takut dihukum atau dikurangi hak-haknya.  
Asal tahu saja, pola pendidikan frightening, akan membawa dampak yang negatif bagi perkembangan jiwa anak. 
            Coba kita ambil satu petuah atau petunjuk.
           
 Ketika anak kita terbentur kursi.
            Bagi orang tua yang tidak mengetahui pola pendidikan modern, pasti akan menyalahkan kursi dan memukulinya di depan anak.  Bagi anak, tindakan ini akan membuatnya terlatih untuk mencari kambing hitam.  Memudahkan dia menyalahkan orang lain serta membuatkan kurang hati-hati dalam bertindak.  Jika ini dibiasakan, maka akan terbawa anak sampai ia dewasa.
            Lebih baik jika kita menenangkan anak yang terbentur sambil mengatakan,
            “Aduh sakit ya ?  Lain kali hati-hati ya !”
Kelihatannya lebih manjur kan ?  Lakukan hal yang sama jika anak kita terjatuh.  Dia tidak harus menyalahkan si kodok, tetapi akan berupaya mengoreksi dirinya.
           
 Ketika anak masih bermain saat maghrib.
            Sebagian besar orang tua pasti akan mengatakan :
            “Hayo masuk.  Hari sudah maghrib, banyak setan lewat !”.
            Apakah dampaknya ?  yaitu, anak akan terbiasa untuk takut pada setan tetapi kurang takut pada Allah.  Di dalam kehidupan nyata, anak akan kurang berani mengambil keputusan.  Rasa takut akan selalu menyertainya.  Celakanya, ini akan terbawa sampai ia dewasa.
            Sebaiknya kita menegurnya dengan cara seperti ini,
            “Hayo sudah maghrib !  Tidak bagus bermain di luar.  Labih bagus kalau kamu mengaji.  Ayo ibu temani !”.
Sejuk bukan ?
           
 Ketika anak duduk di atas bantal.
            Orang tua sering  mengatakan,
            “Hei, jangan begitu !  Nanti kamu bisulan “
            Hiiiiyy.  Menakutkan bukan ?  Terbayang rasa sakitnya.  Bagi anak anak, ini akan membuatnya  berlatih  takut pada sakit.  Padahal, kita harus melatihnya untuk mensyukuri rasa sakit.  Karena dari situlah kita akan lebih berhati-hati dalam bertindak.  Dalam psikis anak, rasa takut itu akan menumbuhkembangkan jiwa kurang mandiri, selalu ingin ditemani, dan selalu merasa butuh pertolongan. 
            Akan lebih baik jika kita mengatakan :
 :           “Nak, itu  untuk kepala.  Tidak bagus lho kalau kita mendudukinya.  Kan masih ada kursi, bangku atau tikar ”
Bereskan ?
            Nah, begitu juga dengan hantu atau barang-barang lain (seperti diancam diberi makan cabe).  Akan lebih baik jika anak diajak untuk sharing, berdiskusi tentang  kondisi dia, apa yang bisa dibantu oleh orang tua, dan sebagainya.  Pada prinsipnya, peran orang tua sangat membantu perkembangan jiwa serta pola perilaku anak. 
            Kalau sudah begitu, tidak usahlah kita membuat cerita hantu atau yang lainnya.  Lebih kecil resikonya, lebih aman bagi kita.  Setujukah Anda ?