KELEMAHAN MENDIDIK ANAK
LEWAT KONSEP FRIGTENING
Saat masih kecil, tentu Anda ingat dengan larangan-larangan atau
petuah-petuah dari orang tua kita tentang cara bertindak atau menyikapi suatu kejadian. Seperti, jangan bermain-main kalau hari
sudah maghrib, banyak setan lewat. Jangan
duduk di atas bantal, nanti bisulan.
Jangan menyapu di malam hari, nanti rumah dilirik maling . Dan lain
sebagainya.
Dalam
mendidik anakpun, banyak kita jumpai larangan dan petuah seperti di atas. Seperti, jika anak jatuh supaya tidak
menangis maka sering orang tua berkata “ Aduh sayang, sudah ya. Itu kodoknya lari !”. Atau
jika anak kepalanya terbentur kursi, maka orang tua akan mengatakan, “Aduh sayang.
Anak bagus. Yang nakal mana
? Kursi ya ? Nih, ibu pukul kursinya”. Lalu si ibu memukul kursi sambil mengatakan
kursi nakal.
Dalam
lingkungan masyarakat pedesaan, kondisi seperti di atas masih banyak kita
jumpai. Dan sepertinya hal-hal seperti
itu sudah membudaya hampir di seluruh pelosok pedesaan. tak peduli dari suku apa saja, sering
mempraktekkan pola pendidikan serupa.
Bahkan mungkin ada yang lebih menakutkan lagi dengan mengambil roh halus
atau bangsa lelembut sebagai alatnya.
Adanya
keharusan moral bagi anak untuk selalu menurut dengan semua perintah orang tua
menjadi dasar bagi suburnya pola pendidikan seperti itu. Apalagi ditunjang dengan kehidupan feodalisme
yang kental, dimana orang tua adalah raja kecil yang paling berkuasa di
dalam keluarga.
Beberapa tahun yang lalu, pola
pendidikan serupa (lebih singkatnya kita sebut pola pendidikan frightening)
juga terjadi di sebuah
kota di Jawa Barat. Karena kebingungan
dengan ulah putrinya, seorang ibu nekat memunculkan pola pendidikan frightening
(lewat cerita akan adanya hantu) dengan
harapan sanggup menghentikan sikap sang anak yang dianggap tidak
diterima oleh orang tua.
Contoh
lain lagi, di sebuah daerah di Jawa Timur, dulu ada sebuah hutan yang
menurut penduduk sekitar dikatakan
sangat angker. Makanya, tak ada
seorangpun yang berani masuk hutan tersebut.
Usut punya usut, ternyata di dalam hutan yang sering mengeluarkan asap
tersebut (yang dikiranya hantu/begu) ternyata menyimpan kekayaan alam berupa
belerang dengan kapasitas yang luar biasa.
Para penjajah sengaja menghembuskan isyu tersebut agar penduduk tidak
melakukan eksplorasi kekayaan alam.
Sebenarnya jika kita melihat
lebih teliti, kejadian seperti ini sudah sering terjadi sejak dahulu. Tetapi dampaknya tidak seluas dan sehebat sekarang karena
terbatasnya sarana komunikasi serta informasi.
Kita yang
berada di jaman modern sekarang, tentu pola pendidikan kepada anak jelas jauh
berbeda dengan cara kita dahulu. Menjadi
orang tua yang efektif sangat diperlukan.
Maksudnya, seperti yang
dikatakan oleh Thomas Gordon, orang tua membesarkan anak dengan
melatih tanggung jawab, melatih disiplin diri dan kooperatif, tanpa
menakut-nakuti. Setiap orang tua dapat
mempengaruhi anak dengan pertimbanngan yang tulus bagi kebutuhan orang tua dan
bukan atas dasar takut dihukum atau dikurangi hak-haknya.
Asal tahu saja, pola pendidikan
frightening, akan membawa dampak yang negatif bagi perkembangan jiwa anak.
Coba kita
ambil satu petuah atau petunjuk.
Ketika
anak kita terbentur kursi.
Bagi
orang tua yang tidak mengetahui pola pendidikan modern, pasti akan menyalahkan
kursi dan memukulinya di depan anak.
Bagi anak, tindakan ini akan membuatnya terlatih untuk mencari kambing
hitam. Memudahkan dia menyalahkan orang
lain serta membuatkan kurang hati-hati dalam bertindak. Jika ini dibiasakan, maka akan terbawa anak
sampai ia dewasa.
Lebih
baik jika kita menenangkan anak yang terbentur sambil mengatakan,
“Aduh
sakit ya ? Lain kali hati-hati ya !”
Kelihatannya lebih manjur kan ? Lakukan hal yang sama jika anak kita
terjatuh. Dia tidak harus menyalahkan si
kodok, tetapi akan berupaya mengoreksi dirinya.
Ketika
anak masih bermain saat maghrib.
Sebagian
besar orang tua pasti akan mengatakan :
“Hayo
masuk. Hari sudah maghrib, banyak setan
lewat !”.
Apakah
dampaknya ? yaitu, anak akan terbiasa
untuk takut pada setan tetapi kurang takut pada Allah. Di dalam kehidupan nyata, anak akan kurang
berani mengambil keputusan. Rasa takut
akan selalu menyertainya. Celakanya, ini
akan terbawa sampai ia dewasa.
Sebaiknya
kita menegurnya dengan cara seperti ini,
“Hayo
sudah maghrib ! Tidak bagus bermain di
luar. Labih bagus kalau kamu
mengaji. Ayo ibu temani !”.
Sejuk bukan ?
Ketika
anak duduk di atas bantal.
Orang tua
sering mengatakan,
“Hei,
jangan begitu ! Nanti kamu bisulan “
Hiiiiyy. Menakutkan bukan ? Terbayang rasa sakitnya. Bagi anak anak, ini akan membuatnya berlatih
takut pada sakit. Padahal, kita
harus melatihnya untuk mensyukuri rasa sakit.
Karena dari situlah kita akan lebih berhati-hati dalam bertindak. Dalam psikis anak, rasa takut itu akan
menumbuhkembangkan jiwa kurang mandiri, selalu ingin ditemani, dan selalu
merasa butuh pertolongan.
Akan
lebih baik jika kita mengatakan :
 : “Nak,
itu untuk kepala. Tidak bagus lho kalau kita mendudukinya. Kan masih ada kursi, bangku atau tikar ”
Bereskan ?
Nah,
begitu juga dengan hantu atau barang-barang lain (seperti diancam diberi makan
cabe). Akan lebih baik jika anak diajak
untuk sharing, berdiskusi tentang
kondisi dia, apa yang bisa dibantu oleh orang tua, dan sebagainya. Pada prinsipnya, peran orang tua sangat
membantu perkembangan jiwa serta pola perilaku anak.
Kalau
sudah begitu, tidak usahlah kita membuat cerita hantu atau yang lainnya. Lebih kecil resikonya, lebih aman bagi
kita. Setujukah Anda ?