(ANDAIKAN)
ADA MUSEUM ANGKUT
DI
SAMPANG MADURA
Masih tertanam dalam ingatan saya, masa kecil nan indah di sebuah
kampung dekat
terminal Sampang, Madura. Di terminal
yang tidak terlalu ramai inilah, awal munculnya jiwa eksplorasi dalam diri anak
kampung seperti saya
dan teman-teman.
Siang hari
sepulang sekolah, kami berlarian di terminal sambil mencari buah kersen (cerry)
yang banyak tumbuh, duduk-duduk di rerumputan dekat kursi tunggu yang panjang
membentang, sambil memainkan peralatan yang kami punya.
Sebuah tembok
persegi besar berdiri megah dekat menara mirip Rumah Gadang yang bagian
dalamnya berisi TV dan di pucuk menara tertera jam besar penanda waktu. Dan masih teringat pula, tembok besar dekat
menara itu bertuliskan “STANPLAATZ SAMPANG”. Tulisannya bukan memakai logam, tetapi semen
yang dibentuk mirip kaligrafi. Menurut
petugas terminal yang sudah beruban waktu itu, kalimat tersebut berasal dari
bahasa Belanda yang berarti “Terminal Sampang”.
Entah mengapa,
dalam sepengetahuan kami (anak-anak) belum pernah ada kecelakaan di terminal
tersebut. Entah anak tertabrak bus atau
angdes. Tidak ada sama sekali. Sepinya terminal bukan karena sedikitnya
penumpang, melainkan masih banyak ruang terbuka hijau yang rimbun oleh
tetumbuhan dan rumput segar meski di dalam lokasi terminal. Artinya, meski banyak anak bermain, mereka
tidak akan masuk jalur kendaraan. Cukup
di lapangan rumput atau di bawah pohon-pohon rindang. Sangat mengasyikkan.
Ke arah utara
tidak jauh dari terminal, berdiri kokoh dan megah bangunan Belanda bertuliskan TREINSTATION. Di dalam gedung yang sejuk itu, ada
tulisan “1 SPOOR” – “2 SPOOR”. Dalam bayangan kami, tulisan itu bermakna “1
(satu) kereta api - 2 (dua) kereta api”. Artinya, hanya ada dua kereta api di
Madura. Yaitu Kereta 1 dan Kereta
2. Eh, ternyata kami keliru total! Tulisan tersebut bermakna “Jalur 1 – Jalur
2”. Kami terkekeh-kekeh saling
menyalahkan sesama teman setelah mendapat penjelasan dari Bapak Kepala Stasiun yang
juga sudah beruban juga karena sangat senior.
Di stasiun
itulah kami sering menaruh “paku usuk” (paku besar untuk atap
rumah) di atas rel. Tentu saja tanpa
sepengetahuan petugas stasiun. Paku itu
diikat menggunakan kawat dengan rel sehingga ketika ada kereta melewati dan
melindasnya, tidak sampai terlempar jauh.
Hasilnya, paku yang sudah gepeng itu kami jadikan pisau kecil, alat
pemotong kuku atau bahkan celurit kecil.
Jika sudah
bosan bermain di sekitar rel, kami melihat kantor operator stasiun lewat
jendela besar berhiaskan jeruji besar mirip penjara. Lewat jendela itulah beberapa alat rumit
terbuat dari besi, tembaga, kuningan atau logam lain dibalut kayu, kami lihat. Ada semacam bel kecil jika ditekan berbunyi “tit
tit tit” yang membuat kami takjub.
Baru bertahun kemudian kami mengerti alat tersebut adalah alat pengirim
sinyal menggunakan sandi “morse” yang kami dapati setelah menjadi
anggota Pramuka.
Setelah kami
besar, berkeluarga, serta merantau di kota-kota lain kami baru sadar, ternyata
sebagian besar kenangan kami itu sudah banyak yang hilang. Stanplaatz
Sampang berubah menjadi Terminal
Sampang yang kerindangan pohon serta kehijauan rumputnya sudah tidak semenarik
dulu. Kantor kepala terminal berganti
bangunan baru yang modern tetapi menghilangkan ruh asli saat bangunan bekas
peninggalan Belanda hilang.
Di stasiun saya
sempat terharu dan menahan agar air mata tidak keluar. Stasiun itu sudah tidak ada. Bangunan utamanya memang masih ada, tetapi
berganti menjadi toko meubel. Saat
mencoba masuk ke dalamnya, sudah tidak ada lagi rel-rel yang melintang dari
utara ke selatan. Sudah dipenuhi
berbagai macam hal yang menghilangkan jejak-jejak sebuah stasiun.
Ah, andaikan
stasiun itu masih dijaga dan dirawat.
Alat-alatnya masih lengkap dan dijadikan semacam Museum Angkutan dengan
segala pernak-perniknya, ada kereta api yang masih eksis berjalan meski sebagai
kereta wisata jarak pendek, termasuk bapak kepala stasiun yang baik hati, tentu
kenangan indah itu tidak akan hilang begitu saja. Tentunya kami masih bisa mengajak anak dan
istri berpetualang mengunjungi tempat dimana kami biasa bermain sewaktu kecil,
sambil mengenalkan alat transportasi yang ada pada waktu itu. Anda punya
pengalaman lain?