This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 06 April 2012

Traveling



ADA GULA (Belum Tentu) ADA SEMUT

Kegiatan wajib bagi siswa SMK adalah Kunjungan ke Dunia Usaha/Industri.  Tujuan utamanya adalah memberikan wawasan keilmuan baru kepada siswa tentang kondisi dunia kerja yang sebenarnya.  Dari kunjungan tersebut, siswa betul-betul mendapatkan pengetahuan langsung dari industri/usaha melalui pengamatan, wawancara atau paparan dari narasumber.
Ketel Air Perasan Tebu
Beberapa waktu lalu, saya sempatkan mengantarkan anak didik saya melaksanakan kegiatan itu.  Tujuan kami adalah Pabrik Gula Madukismo (PS. Madubaru) di Kasihan, Bantul, Yogyakarta.
Sebagai guru pembimbing, saya berusaha mencari tahu lebih dulu profil dari pabrik ini.  Tentu sebagai senjata pamungkas ketika ada siswa yang tidak puas dengan sekedar bertanya, saat menerima paparan dari utusan pabrik, atau pengamatan dan wawancara di lapangan dengan para petugas pabrik.  Dan feeling saya ternyata benar.  Tidak sedikit anak-anak bertanya tentang nama-nama bagian mesin, proses produksi sampai detail pengerjaan penggilingan dari tebu menjadi gula. 
Sebelumnya, saat tiba di areal pabrik, suara lengkingan menyambut kami.  Mirip suara sirine pagi hari saat para gerilyawan Republik menggempur Yogyakarta.  Pikiran saya langsung melayang ke pertempuran tersebut.  Betapa, Panglima Sudirman yang masih lemah karena sakit masih mampu mengatur strategi anak buahnya dengan hasil yang brillian.  Jangan lupa, saat itu belum ada HP.  Tak terbayangkan betapa sulitnya menjalin komunikasi antar komandan di lapangan dengan komandan di pusat komando.
Di awal pertemuan ini, kami dipersilakan memasuki aula besar dengan interior huruf Jawa berhiaskan dua naga bermahkota emas.  Kata humas pabrik, naga bagi masyarakat Jawa melambangkan Sang Penjaga.   Disitulah kami mendapatkan berbagai macam informasi tentang PG. Madukismo dengan panjang lebar.
Lokasi Bagian Dalam Pabrik
Selesai acara penyambutan, kami dikejutkan lagi dengan  pelayanan luar biasa dari manajemen pabrik.  Untuk menuju lokasi mesin operasi, kami diangkut dengan kereta wisata.  Luar biasa, meski kecepatannya 200 km per 2 tahun (begitu canda humas pabrik) mampu memberikan sensasi yang menghebohkan. 
Kami diajak menyusuri deretan lori, lapangan stock tebu dan bengkel perbaikan mesin, sampai akhirnya tiba di mulut pabrik.  Dengan tertib kami masuk secara berkelompok sambil melihat langsung bagaimana bisingnya mesin-mesin besar laksana raksasa melumat tebu bersama kulitnya dan memerasnya.  Sampai kemudian air tebu ditampung di panci-panci  besar. 
Setelah melalui proses yang rumit, tampaklah butiran-butiran gula berwarna putih bersih mengalir deras menuju satu titik yaitu penampungan dan pengepakan.  Dari jauh kami melihat betapa sibuknya para pekerja mengepak dan mengemas berkilo-kilo gula dengan terampil.
Dan kejutan terakhir kepada kami adalah, saat diajak melewati gudang penimbunan gula, tak seekor semut pun tampak.  Ketika saya bertanya kepada kepala gudang, beliau sendiri juga masih bingung, mengapa tidak ada semut di tempat yang begitu penuh dengan gula.  Padahal sedikit banyak ceceran gula juga ada di sana-sini.  Dan rahasia itupun masih tetap terjaga sampai kami kembali ke Surabaya.
Ternyata pepatah “ada gula ada semut” menjadi sedikit berubah menurut pendapat saya, yaitu “ada gula belum tentu ada semut”!  He..he.., Anda setuju?

Kamis, 05 April 2012

Maju Terus Pak Jokowi...!!!!



Membaca berita belum lolosnya Uji Emisi mobil Kiat SMK di Surya kemarin, saya seperti membaca dongeng seribu satu malam.  Mobil sebegitu bagus, mulus dan sanggup menempuh Solo – Jakarta dengan tanpa halangan, kok bisa belum gol.  
Sejauh yang saya ketahui, proses pembuatan mobil ini melibatkan orang-orang yang kompeten dan punya pengalaman tinggi di dunia otomotif seperti Sukiyat, anak-anak SMK Otomotif, serta gugusan guru-guru SMK yang hebat.  Lho..!  Lantas seperti apa lagi yang dibutuhkan oleh “sebuah mobil nasional” untuk go nasional?
Kiat SMK
Berkaca dari China dan Korea yang punya daya juang tinggi meluncurkan produk-produk negaranya, tidak ada salahnya Indonesia “menyadur” semangat juang tersebut.  Bukan saja di pihak produsen, tetapi juga di pihak pemerintah.  Di Korea, konsumen mobil dalam negeri akan mendapatkan kemanjaan yang luar biasa dari pemerintah.  Mulai dari parkir dengan biaya yang jauh lebih murah dibanding mobil buatan luar negeri, pajak pembelian dengan diskon luar biasa ataupun apresiasi dari aparat negara untuk memakai mobil buatan dalam negeri sebagai mobdin.
Belum lagi dengan kemudahan khusus bagi eksportir yang berkehendak mengekspor mobil dalam negeri ke luar Korea.  Mereka akan mendapat perlakuan khusus dari pemerintah.
Seorang teman yang pernah bekerja di Korea mengatakan, siswa-siswa SMK di sana ditantang oleh pemerintah dengan apresiasi serta insentif menggiurkan bila dapat mencetak suatu produk yang bernilai ekonomis.  Dan pemerintah siap membantu memperjuangkan dengan tingkat kejuangan seratus persen!
Bangga Mobil SMK
Indonesia sepertinya punya “preman otomotif”.  Dan besar kemungkinan akan merasa terancam bila mobil SMK menjadi produk yang siap digenjot di pasar oleh pemerintah.   Maka tidak ada kata lain selain upaya preman-preman tersebut melakukan aksi terselubung demi gagalnya mobnas.
Entah benar atau tidak, tetapi sebagai seorang praktisi yang juga mengajar di sebuah SMK di Jalan Bharatajaya Surabaya, saya mengucapkan : “Teruslah berjuang, Pak Jokowi!  Jangan mudah menyerah, Pak Sukiyat.  Kami para guru dan siswa SMK se Indonesia mendukung penuh serta selalu mendoakan Anda.  Bravo produksi dalam negeri!”

Senin, 02 April 2012

Penjara Jadi Pesantren




PONDOK PESANTREN MODERN
“AL MEDAENG” SIDOARJO



Jumlah napi yang dipenjara di Rumah Tahanan Kelas I Medaeng, dua kali lipat dari kapasitas.  Rutan yang berkapasitas 300-400 orang itu kini justru menampung 950-1.000 narapidana. Bakan menurut Kepala Rutan Medaeng, Joko saat dikunjungi Anggota DPRD Jawa Timur bulan Januari lalu mengatakan bahwa isi rata-rata tiap bulan overkapasitas 200 persen.  Ini menunjukkan bahwa, tindak kriminalitas selalu cenderung meningkat. 

Tanggung jawab pemerintah
Padahal menurut  No. 12 Th. 1995 Tentang Pemasyarakatan pasal 2 dikatakan bahwa, Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. 
Sedangkan pasal 3 dikatakan Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyrakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
Pada prinsipnya, pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan, tidak hanya ditujukan untuk mengayomi masyarakat dari bahaya kejahatan, melainkan juga orang-orang yang salah jalur ini juga perlu diayomi dan diberikan bekal hidup sehingga dapat kembali dan diterima oleh  masyarakat.
Secara umum, pemerintah sudah melaksanakan ketentuan-ketentuan seperti yang termaktub dalam undang-undang.  Melalui para sipir dan seluruh instansi yang terkait dengan lembaga pemasyarakatan, pemerintah mencoba mendidik dan merangkul para napi agar dapat kembali ke jalan yang benar. 
Lembaga Swadaya Masyarakat, lembaga keagamaan serta lembaga-lembaga lain tidak ketinggalan berperan aktif.  Terutama lembaga keagamaan yang getol berkecimpung dalam penjara sampai mengirimkan salah seorang utusannya untuk selalu standby di penjara dalam jangka waktu tertentu sekedar menemani narapidana yang memerlukan dukungan moral dan spiritual.  Pemerintah selalu mencoba membekali napi dengan berbagai keterampilan sesuai bakat dan minat masing-masing.  Plus, kehidupan keberagamaan agar jiwa mereka  tidak kosong oleh cahaya ilahi. 
Kenyataannya, upaya yang dilakukan oleh banyak pihak untuk mewujudkan tujuan seperti tercantum dalam UU tersebut sangatlah sulit.  Penumpukan anggota baru di lapas-lapas seperti mengalir tak terbendung.  Kriminalitas dari para residivis yang kadang jebolan beberapa kali masih meresahkan masyarakat.  Sepertinya, LP justru menjadi semacam kampus baru.  Napi yang kurang canggih dalam melakukan tindak kejahatan, menjadi semakin jagoan setelah keluar karena mendapat mentor yang lebih berpengalaman dari napi senior lainnya.
Mana yang salah?  Apakah pola asuh dan pendidikan dalam penjara kurang bermutu?  Apakah kurikulum kependidikan dan pendekatan keberagamaan masih kurang maksimal?  Atau bahkan mungkin penjara terlalu memanjakan para napi sehingga mereka masih bebas menunjukkan eksistensinya dari bali jeruji?  Pertanyaan-pertanyaan ini sepertinya harus dijawab dan dicari solusinya sesegera mungkin. 

Kehidupan pesantren
Selama masa tahanan (dipenjara), para napi termasuk dalam kategori kekurangan.  Mulai kurangnya kebebasan, kebiasaan atau bahkan makanan.  Inilah konsekuensi bagi pelanggar Undang Undang Negara.  Termasuk, napi yang melakukan tindak pidana yang tidak disengaja sekalipun, mengalami hal sama.
Jika dibandingkan dengan roda kehidupan di pesantren, kondisi napi sepertinya tidak jauh berbeda dalam hal keprihatinan.  Di pesantren para santri diajarkan untuk bertahan dalam menghadapi tantangan kehidupan. Dalam kondisi yang serba kekurangan, para santri justru menjadikannya sebagai pelecut semangat mencari ilmu.  Bagi santri, hidup dalam kondisi “tirakat” memberikan barokah tersendiri bagi ilmu yang didapatnya.
Selain itu, santri sangat percaya, bahwa perut kosong karena berpuasa menjernihkan hati dan pikiran.  Ini diukung oleh bukti-bukti  berupa biografi-biografi tokoh Islam ternama yang menceritakan kehidupan mereka dari kecil sampai dewasa.  Yang tentu saja berkehidupan penuh dengan keterbatasan.  Toh, mereka bisa menjadi orang terkenal sepanjang zaman.
Loyalitas yang tinggi terhadap seorang ustadz atau ustadzah juga menjadi salah satu ciri yang mengakar kuat dalam nuansa Pondok Pesantren. Acap kali, orang yang melihat akan terheran ketika seorang kyai menyuruh santri mengerjakan sesuatu. Tanpa berfikir panjang para santri yang mendapat dawuh atau perintah tersebut, akan mengerjakan tugas yang diamanahkan. Santri tidak terfikir sama sekali tentang imbalan. Keberkahan adalah yang sangat mereka harapkan. Ketika teguran datang dari seorang ustadz maka satu suku kata pun tidak terucap dari mulut para santri. Mereka menyadari dan merenung kesalahan yang dia perbuat. Para santri mencoba untuk mengevaluasi kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat. Hal ini bukan semata-semata absolutisme seorang ustadz atau kyai, tapi pendidikan yang yang mengajarkan betapa pentingnya tanggung jawab dan keberanian menghadapi resiko dari suatu perbuatan yang ditanamkan kepada para santrinya. (Widodo, 2009).

Andaikan semangat pesantren ini bisa diadopsikan ke rutan, alangkah luar biasanya.  Santri napi (sanapi) diwajibkan  melakukan shalat tahajut setiap malam. Termasuk petugas rutan bisa dialihtugaskan menjadi ustadz mendampingi sanapi shalat tahajut. Tentu saja, semua harus dikondisikan sehingga memudahkan pengawasan dan penanganan. 
Setelah shalat subuh, langsung dilanjutkan dengan kajian Alquran.  Disinilah peran pamong sanapi (kalau bisa seorang kyai/ustadz) sangat dibutuhkan.  Beberapa lembaga swadaya masyarakat ada yang sanggup memberikan materi  kajian ini dengan gratis. 
Pagi hari, rutinitas rutin bisa dilakukan.  Mulai dari sarapan, dan bekerja di tempat kegiatan masing-masing sesuai bakat dan minatnya.  Peran LP adalah, bakat dan minat selama di penjara tersebut sebisa mungkin dikaitkan dengan pihak luar.  Contoh saja, bengkel sepeda motor yang dimiliki LP, juga melayani para konsumen dari luar (masyarakat umum).    Pada jam kerja ini, sanapi diwajibkan bekerja sesuai jam kerja dan benar-benar bekerja  delapan jam sehari!  Sehingga tidak ada waktu untuk “ngrumpi” atau berguru kejahatan ke seniornya.
Lepas kerja, istirahat sekaligus persiapan shalat maghrib, shalat magrib berjamaah, dan kajian sampai Isya.  Malam harinya diadakan diskusi atau pembelajaran umum sampai jam sembilan malam.  Setelah itu sanapi diperbolehkan tidur untuk persiapan bangun malam melaksanakan shalat tahajut.
Alangkah indahnya.  Rumah tahanan yang semula seram menjadi penuh dengan ruh ilahiyah.  Bisa jadi, saat keluar dari tahanan banyak sanapi yang menjadi pengasuh di pondok-pondok pesantren.  Anton Medan saja bisa, mengapa yang lain tidak?



PONDOK PESANTREN MODERN
“AL MEDAENG” SIDOARJO



Jumlah napi yang dipenjara di Rumah Tahanan Kelas I Medaeng, dua kali lipat dari kapasitas.  Rutan yang berkapasitas 300-400 orang itu kini justru menampung 950-1.000 narapidana. Bakan menurut Kepala Rutan Medaeng, Joko saat dikunjungi Anggota DPRD Jawa Timur bulan Januari lalu mengatakan bahwa isi rata-rata tiap bulan overkapasitas 200 persen.  Ini menunjukkan bahwa, tindak kriminalitas selalu cenderung meningkat. 

Tanggung jawab pemerintah
Padahal menurut  No. 12 Th. 1995 Tentang Pemasyarakatan pasal 2 dikatakan bahwa, Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. 
Sedangkan pasal 3 dikatakan Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyrakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
Pada prinsipnya, pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan, tidak hanya ditujukan untuk mengayomi masyarakat dari bahaya kejahatan, melainkan juga orang-orang yang salah jalur ini juga perlu diayomi dan diberikan bekal hidup sehingga dapat kembali dan diterima oleh  masyarakat.
Secara umum, pemerintah sudah melaksanakan ketentuan-ketentuan seperti yang termaktub dalam undang-undang.  Melalui para sipir dan seluruh instansi yang terkait dengan lembaga pemasyarakatan, pemerintah mencoba mendidik dan merangkul para napi agar dapat kembali ke jalan yang benar. 
Lembaga Swadaya Masyarakat, lembaga keagamaan serta lembaga-lembaga lain tidak ketinggalan berperan aktif.  Terutama lembaga keagamaan yang getol berkecimpung dalam penjara sampai mengirimkan salah seorang utusannya untuk selalu standby di penjara dalam jangka waktu tertentu sekedar menemani narapidana yang memerlukan dukungan moral dan spiritual.  Pemerintah selalu mencoba membekali napi dengan berbagai keterampilan sesuai bakat dan minat masing-masing.  Plus, kehidupan keberagamaan agar jiwa mereka  tidak kosong oleh cahaya ilahi. 


Kenyataannya, upaya yang dilakukan oleh banyak pihak untuk mewujudkan tujuan seperti tercantum dalam UU tersebut sangatlah sulit.  Penumpukan anggota baru di lapas-lapas seperti mengalir tak terbendung.  Kriminalitas dari para residivis yang kadang jebolan beberapa kali masih meresahkan masyarakat.  Sepertinya, LP justru menjadi semacam kampus baru.  Napi yang kurang canggih dalam melakukan tindak kejahatan, menjadi semakin jagoan setelah keluar karena mendapat mentor yang lebih berpengalaman dari napi senior lainnya.
Mana yang salah?  Apakah pola asuh dan pendidikan dalam penjara kurang bermutu?  Apakah kurikulum kependidikan dan pendekatan keberagamaan masih kurang maksimal?  Atau bahkan mungkin penjara terlalu memanjakan para napi sehingga mereka masih bebas menunjukkan eksistensinya dari bali jeruji?  Pertanyaan-pertanyaan ini sepertinya harus dijawab dan dicari solusinya sesegera mungkin. 

Kehidupan pesantren
Selama masa tahanan (dipenjara), para napi termasuk dalam kategori kekurangan.  Mulai kurangnya kebebasan, kebiasaan atau bahkan makanan.  Inilah konsekuensi bagi pelanggar Undang Undang Negara.  Termasuk, napi yang melakukan tindak pidana yang tidak disengaja sekalipun, mengalami hal sama.
Jika dibandingkan dengan roda kehidupan di pesantren, kondisi napi sepertinya tidak jauh berbeda dalam hal keprihatinan.  Di pesantren para santri diajarkan untuk bertahan dalam menghadapi tantangan kehidupan. Dalam kondisi yang serba kekurangan, para santri justru menjadikannya sebagai pelecut semangat mencari ilmu.  Bagi santri, hidup dalam kondisi “tirakat” memberikan barokah tersendiri bagi ilmu yang didapatnya.
Selain itu, santri sangat percaya, bahwa perut kosong karena berpuasa menjernihkan hati dan pikiran.  Ini diukung oleh bukti-bukti  berupa biografi-biografi tokoh Islam ternama yang menceritakan kehidupan mereka dari kecil sampai dewasa.  Yang tentu saja berkehidupan penuh dengan keterbatasan.  Toh, mereka bisa menjadi orang terkenal sepanjang zaman.
Loyalitas yang tinggi terhadap seorang ustadz atau ustadzah juga menjadi salah satu ciri yang mengakar kuat dalam nuansa Pondok Pesantren. Acap kali, orang yang melihat akan terheran ketika seorang kyai menyuruh santri mengerjakan sesuatu. Tanpa berfikir panjang para santri yang mendapat dawuh atau perintah tersebut, akan mengerjakan tugas yang diamanahkan. Santri tidak terfikir sama sekali tentang imbalan. Keberkahan adalah yang sangat mereka harapkan. Ketika teguran datang dari seorang ustadz maka satu suku kata pun tidak terucap dari mulut para santri. Mereka menyadari dan merenung kesalahan yang dia perbuat. Para santri mencoba untuk mengevaluasi kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat. Hal ini bukan semata-semata absolutisme seorang ustadz atau kyai, tapi pendidikan yang yang mengajarkan betapa pentingnya tanggung jawab dan keberanian menghadapi resiko dari suatu perbuatan yang ditanamkan kepada para santrinya. (Widodo, 2009).

Andaikan semangat pesantren ini bisa diadopsikan ke rutan, alangkah luar biasanya.  Santri napi (sanapi) diwajibkan  melakukan shalat tahajut setiap malam. Termasuk petugas rutan bisa dialihtugaskan menjadi ustadz mendampingi sanapi shalat tahajut. Tentu saja, semua harus dikondisikan sehingga memudahkan pengawasan dan penanganan. 
Setelah shalat subuh, langsung dilanjutkan dengan kajian Alquran.  Disinilah peran pamong sanapi (kalau bisa seorang kyai/ustadz) sangat dibutuhkan.  Beberapa lembaga swadaya masyarakat ada yang sanggup memberikan materi  kajian ini dengan gratis. 
Pagi hari, rutinitas rutin bisa dilakukan.  Mulai dari sarapan, dan bekerja di tempat kegiatan masing-masing sesuai bakat dan minatnya.  Peran LP adalah, bakat dan minat selama di penjara tersebut sebisa mungkin dikaitkan dengan pihak luar.  Contoh saja, bengkel sepeda motor yang dimiliki LP, juga melayani para konsumen dari luar (masyarakat umum).    Pada jam kerja ini, sanapi diwajibkan bekerja sesuai jam kerja dan benar-benar bekerja  delapan jam sehari!  Sehingga tidak ada waktu untuk “ngrumpi” atau berguru kejahatan ke seniornya.
Lepas kerja, istirahat sekaligus persiapan shalat maghrib, shalat magrib berjamaah, dan kajian sampai Isya.  Malam harinya diadakan diskusi atau pembelajaran umum sampai jam sembilan malam.  Setelah itu sanapi diperbolehkan tidur untuk persiapan bangun malam melaksanakan shalat tahajut.
Alangkah indahnya.  Rumah tahanan yang semula seram menjadi penuh dengan ruh ilahiyah.  Bisa jadi, saat keluar dari tahanan banyak sanapi yang menjadi pengasuh di pondok-pondok pesantren.  Anton Medan saja bisa, mengapa yang lain tidak?