PONDOK
PESANTREN MODERN
“AL
MEDAENG” SIDOARJO
Jumlah
napi yang dipenjara di Rumah Tahanan Kelas I Medaeng, dua kali lipat dari kapasitas.
Rutan yang berkapasitas 300-400 orang
itu kini justru menampung 950-1.000 narapidana. Bakan menurut Kepala Rutan Medaeng,
Joko saat dikunjungi Anggota DPRD Jawa Timur bulan Januari lalu mengatakan
bahwa isi rata-rata tiap bulan overkapasitas 200 persen. Ini menunjukkan bahwa, tindak kriminalitas
selalu cenderung meningkat.
Tanggung
jawab pemerintah
Padahal menurut No. 12 Th. 1995 Tentang Pemasyarakatan pasal 2 dikatakan bahwa, Sistem
Pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan
Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki
diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup
secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.
Sedangkan pasal 3 dikatakan Sistem pemasyarakatan
berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyrakatan agar dapat berintegrasi secara
sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota
masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.
Pada prinsipnya, pelaksanaan
pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan, tidak hanya ditujukan untuk
mengayomi masyarakat dari bahaya kejahatan, melainkan juga orang-orang yang salah
jalur ini juga perlu diayomi dan diberikan bekal hidup sehingga dapat kembali
dan diterima oleh masyarakat.
Secara umum, pemerintah
sudah melaksanakan ketentuan-ketentuan seperti yang termaktub dalam
undang-undang. Melalui para sipir dan
seluruh instansi yang terkait dengan lembaga pemasyarakatan, pemerintah mencoba
mendidik dan merangkul para napi agar dapat kembali ke jalan yang benar.
Lembaga Swadaya
Masyarakat, lembaga keagamaan serta lembaga-lembaga lain tidak ketinggalan
berperan aktif. Terutama lembaga
keagamaan yang getol berkecimpung dalam penjara sampai mengirimkan salah
seorang utusannya untuk selalu standby
di penjara dalam jangka waktu tertentu sekedar menemani narapidana yang
memerlukan dukungan moral dan spiritual.
Pemerintah selalu mencoba membekali napi dengan berbagai keterampilan
sesuai bakat dan minat masing-masing. Plus, kehidupan keberagamaan agar jiwa
mereka tidak kosong oleh cahaya
ilahi.
Kenyataannya, upaya
yang dilakukan oleh banyak pihak untuk mewujudkan tujuan seperti tercantum
dalam UU tersebut sangatlah sulit.
Penumpukan anggota baru di lapas-lapas seperti mengalir tak terbendung. Kriminalitas dari para residivis yang kadang
jebolan beberapa kali masih meresahkan masyarakat. Sepertinya, LP justru menjadi semacam kampus
baru. Napi yang kurang canggih dalam
melakukan tindak kejahatan, menjadi semakin jagoan setelah keluar karena
mendapat mentor yang lebih
berpengalaman dari napi senior lainnya.
Mana yang salah? Apakah pola asuh dan pendidikan dalam penjara
kurang bermutu? Apakah kurikulum
kependidikan dan pendekatan keberagamaan masih kurang maksimal? Atau bahkan mungkin penjara terlalu
memanjakan para napi sehingga mereka masih bebas menunjukkan eksistensinya dari
bali jeruji? Pertanyaan-pertanyaan ini
sepertinya harus dijawab dan dicari solusinya sesegera mungkin.
Kehidupan
pesantren
Selama masa tahanan
(dipenjara), para napi termasuk dalam kategori kekurangan. Mulai kurangnya kebebasan, kebiasaan atau
bahkan makanan. Inilah konsekuensi bagi
pelanggar Undang Undang Negara.
Termasuk, napi yang melakukan tindak pidana yang tidak disengaja
sekalipun, mengalami hal sama.
Jika dibandingkan
dengan roda kehidupan di pesantren, kondisi napi sepertinya tidak jauh berbeda
dalam hal keprihatinan. Di pesantren
para santri diajarkan untuk bertahan dalam menghadapi tantangan kehidupan. Dalam
kondisi yang serba kekurangan, para santri justru menjadikannya sebagai pelecut
semangat mencari ilmu. Bagi santri,
hidup dalam kondisi “tirakat” memberikan barokah tersendiri bagi ilmu yang
didapatnya.
Selain itu, santri
sangat percaya, bahwa perut kosong karena berpuasa menjernihkan hati dan
pikiran. Ini diukung oleh
bukti-bukti berupa biografi-biografi
tokoh Islam ternama yang menceritakan kehidupan mereka dari kecil sampai
dewasa. Yang tentu saja berkehidupan
penuh dengan keterbatasan. Toh, mereka
bisa menjadi orang terkenal sepanjang zaman.
Loyalitas yang tinggi
terhadap seorang ustadz atau ustadzah juga menjadi salah satu ciri yang
mengakar kuat dalam nuansa Pondok Pesantren. Acap kali, orang yang melihat akan
terheran ketika seorang kyai menyuruh santri mengerjakan sesuatu. Tanpa
berfikir panjang para santri yang mendapat dawuh atau perintah tersebut, akan
mengerjakan tugas yang diamanahkan. Santri tidak terfikir sama sekali tentang
imbalan. Keberkahan adalah yang sangat mereka harapkan. Ketika teguran datang
dari seorang ustadz maka satu suku kata pun tidak terucap dari mulut para
santri. Mereka menyadari dan merenung kesalahan yang dia perbuat. Para santri
mencoba untuk mengevaluasi kesalahan-kesalahan yang mereka perbuat. Hal ini
bukan semata-semata absolutisme seorang ustadz atau kyai, tapi pendidikan yang
yang mengajarkan betapa pentingnya tanggung jawab dan keberanian menghadapi
resiko dari suatu perbuatan yang ditanamkan kepada para santrinya. (Widodo,
2009).
Andaikan semangat
pesantren ini bisa diadopsikan ke rutan, alangkah luar biasanya. Santri
napi (sanapi) diwajibkan melakukan
shalat tahajut setiap malam. Termasuk petugas rutan bisa dialihtugaskan menjadi
ustadz mendampingi sanapi shalat tahajut. Tentu saja, semua harus dikondisikan
sehingga memudahkan pengawasan dan penanganan.
Setelah shalat subuh,
langsung dilanjutkan dengan kajian Alquran.
Disinilah peran pamong sanapi (kalau bisa seorang kyai/ustadz) sangat
dibutuhkan. Beberapa lembaga swadaya
masyarakat ada yang sanggup memberikan materi kajian ini dengan gratis.
Pagi hari, rutinitas
rutin bisa dilakukan. Mulai dari
sarapan, dan bekerja di tempat kegiatan masing-masing sesuai bakat dan
minatnya. Peran LP adalah, bakat dan
minat selama di penjara tersebut sebisa mungkin dikaitkan dengan pihak
luar. Contoh saja, bengkel sepeda motor
yang dimiliki LP, juga melayani para konsumen dari luar (masyarakat umum). Pada jam kerja ini, sanapi diwajibkan
bekerja sesuai jam kerja dan benar-benar bekerja delapan jam sehari! Sehingga tidak ada waktu untuk “ngrumpi” atau
berguru kejahatan ke seniornya.
Lepas kerja, istirahat
sekaligus persiapan shalat maghrib, shalat magrib berjamaah, dan kajian sampai
Isya. Malam harinya diadakan diskusi
atau pembelajaran umum sampai jam sembilan malam. Setelah itu sanapi diperbolehkan tidur untuk
persiapan bangun malam melaksanakan shalat tahajut.
Alangkah indahnya. Rumah tahanan yang semula seram menjadi penuh
dengan ruh ilahiyah. Bisa jadi, saat
keluar dari tahanan banyak sanapi yang menjadi pengasuh di pondok-pondok pesantren. Anton Medan saja bisa, mengapa yang lain
tidak?