This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 28 Maret 2012


MELEJITKAN POTENSI KECERDASAN OTAK

Setiap orang tua pasti punya harapan besar dalam mendidik anaknya.  Tujuan utama memasukkan putra/putrinya ke sekolah adalah, agar orang tua dibantu dalam mendidik anaknya agar kelak menjadi cerdas dan punya potensi mengembangkan dirinya.  Termasuk kemampuan memaksimalkan kelebihan otaknya.
Sayangnya, tidak semua orang tua/guru mampu mengarahkan sang anak dalam mengoptimalkan otak kiri dan otak kanannya. Malah orang tua (kadang tanpa sepengetahuan guru) menjadikan anaknya seperti robot yang diprogram menerima materi  lpelajaran (bahkan les), sehingga cenderung membuat anak menjadi stress.  Di saat seperti itu, malah orang tua punya asumsi bahwa anaknya sedang mengalami gangguan konsentrasi.   
Bahkan yang  lebih ekstrim, orang tua/guru bisa bertindak  sebagai “perampok” dengan cara merampas “hak anak” untuk bereksplorasi dan berimajinasi.  Padahal, eksplorasi dan imajinasi akan menumbuhkembangkan potensi otak (Taufik Pasiak;2009 : Seminar Pendidikan)
Setiap anak ditakdirkan punya lima modal.  Yaitu,
1.      Intelektual (berhubungan dengan kemampuan pengembangan nuansa keilmuan)
2.      Emosional (berhubungan dengan kemampuan penguasaan emosi dan citra diri)
3.      Spiritual (berhubungan dengan kemampuan pelaksanaan dan pengembangan norma keagamaan)
4.      Sosial (berhubungan dengan kemampuan pengembangan hubungan dan komunikasi dengan orang lain)
5.      Material (berhubungan dengan kemampuan pengembangan potensi diri untuk mendapatkan materi).  
Dari kelima modal di atas, dalam kenyataannya, yang sering dikelola lebih berorientasi kepada sisi material saja.  Yang lainnya belum banyak yang melirik untuk mengelolanya.  Padahal, semua modal itu harus dikemas secara seimbang.  Sehingga anak mampu memaksimalkan potensi otaknya sebaik mungkin.
Intinya anak dirangsang mampu menggunakan otak kiri dan kanan. Karena perlu diketahui, otak dibagi menjadi dua belahan penting, yaitu otak kiri dan otak kanan, yang masing-masing bertanggung jawab atas cara berfikir yang berbeda-beda. 
Otak kiri bersifat logis, sekuensial, linier dan rasional. Otak kanan bersifat acak, tidak teratur, intuitif dan holistik.  Kedua bagian belahan otak itu amat penting dalam kecerdasan dan tingkat kesuksesan. Jika anak dilatih agar  mampu memanfaatkan kedua belahan otak ini secara proporsional, maka akan seimbang tiap aspek kehidupannya.
Kesulitan besar yang dihadapi orangtua dan guru dalam mendidik anak adalah, bagaimana membuat belajar menjadi menyenangkan tapi tetap mengindahkan keseimbangan kemampuan otak. Apalagi anak sering menganggap belajar adalah kegiatan yang sangat menyusahkan sehingga berakibat sulit konsentrasi yang pada akhirnya sulit memahami materi pelajaran.
Otak laksana raksasa yang tertidur (a sleeping giant).  Potensinya yang raksasa, ternyata baru dimanfaatkan 1 – 10% saja.  Selain itu, otak ibarat parasut.  Kalau tidak dibuka atau dikembangkan, maka tidak berfungsi”.
Adalah anggapan yang salah bila orang mengatakan,
“Ah, namanya gelas itu.....meski diisi air satu tong pun, sisa air akan meluber keluar.   Percuma.”
Sementara banyak yang tidak tahu, apakah betul otak tersebut memang satu gelas?  Bagaimana kalau ternyata lima puluh gelas?  Dua puluh lima galon?  Atau bahkan lima belas tong?
Semua manusia diciptakan dengan modal dasar yang luar biasa.  Tinggal dirinya, orang tua serta lingkungan yang akan mengembangkan dirinya menjadi apa yang diharapkan.
Ada dua cara yang efektif untuk membantu memaksimalkan kerja otak.  Yaitu,
1.    Anak dilatih untuk memaksimalkan panca indra
Panca indra adalah stimulus kuat bagi daya kerja otak bila dilatih dengan betul.  Latihan yang bisa dilaksanakan adalah meraba, memetakan, mencium (mengenal bau), melihat, mengecap, mendengar dan melakukan koordinasi. 
2.    Anak dilatih untuk memaksimalkan pikirannya lewat kalimat-kalimat
Selain itu, anak juga harus sering dirangsang untuk  terampil dalam bertanya, merinci dan berhimpun dengan cara yang menyenangkan.

Nah, Bapak/Ibu, Anda punya pendapat lain?


Selasa, 27 Maret 2012

PILKADA CAP JEMPOL/KTP



PILKADA CAP JEMPOL/KTP

Hari Rabu (2/6) kemarin, sebagai seorang ketua KPPS, jantung saya deg-degan. Bukan karena takut dengan kerja keras sehari penuh di bawah ancaman protes serta interupsi dari para saksi yang hadir (pengalaman selama lima tahun terakhir bersama kelompok PPS dalam pilwali, pilgub, pilcaleg, dan terakhir pilpres memberi saya banyak pengalaman dan pengetahuan baru dalam pesta demokrasi itu), melainkan karena saya membayangkan berapa besar uang rakyat yang telah dihabiskan dalam pasar suara tersebut.

Biaya besar pilkada

Seorang rekan anggota KPPS di TPS kelurahan lain berujar,

“Alangkah indahnya dunia jika pilwali, pilgub atau segala macam pemilihan itu berlangsung dua atau tiga putaran, Pak. Wah, tebal kantong saya! Benar lho. Belum tentu dalam sehari mendapatkan laba sebegitu dari jualan saya!”

Saya tercenung, ternyata dia tidak tahu kalau uang yang dia terima sebagai honor itu adalah uang rakyat. Kemudian otak saya mencoba mengalkulasi keseluruhan biaya pemilihan di salah satu TPS. Honor untuk 1 ketua KPPS, 6 orang anggota, 2 Linmas, dan sewa tenda/kursi untuk satu kali pencoblosan. Ternyata dana yang diserap sebesar Rp 2.320.000,00. Nah sekarang, kalau dua putaran? Rp 4.640.000,00!

Itu untuk satu TPS lho! Padahal satu RW kurang lebih ada 14 TPS. Maka total dana yang digunakan untuk dua putaran membengkak sebesar 14 x Rp 4.640.000,00 = Rp 64.960.000,00. Sementara dalam satu kelurahan, bisa jadi ada enam RW. Weleh-weleh, total biaya yang dikeluarkan Rp 389.760.000,00. Nah, kalau ditambah pengeluaran lain-lain, bisa setengah milyar! Itu baru satu kelurahan. Lha kalau satu kota/kabupaten? Satu provinsi? Ratusan milyar!

Kalau boleh berandai-andai, jika saja uang tersebut digunakan untuk membangun fasilitas RKB (ruang kelas baru) untuk SD di daerah Kenjeran yang ambrol itu, atau sebagai dana talangan untuk insentif guru swasta yang ekonominya kembang-kempis karena tidak ada Undang Undang yang melindungi mereka (tidak seperti buruh pabrik yang dinaungi oleh UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan selalu dikawal Disnaker), hmmm........, para bapak/ibu guru akan dapat bernafas panjang. Yang SD-nya ambrol bisa mengajar dengan nyaman di kelas, yang dapat insentif bisa digunakan untuk keperluan putra/putrinya.

Saya teringat ucapan seorang Pengamat politik dari Universitas Airlangga Surabaya pada sebuah media cetak, Daniel Sparringga. Mas Daniel bilang begini,

”Biaya pemilihan lebih dari Rp 800 miliar untuk menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Timur sungguh berlebihan. Jika terus dibiarkan terjadi, hal itu justru membahayakan demokrasi karena akan memunculkan gelembung demokrasi, realitas demokrasi yang semu,”

Rawan penyimpangan

Seperti sebuah tradisi, tak ada gading yang tak retak. Sesempurna apapun persiapan, selalu ada celah untuk berbuat menyimpang. Tak terkecuali pilkada. Banyaknya petugas yang harus direkrut, memberikan ruang gerak bagi segelintir oknum. Bukan saya memvonis bahwa di KPU dan petugas lainnya akan melakukan korupsi, tapi hanya khawatir saja, bahwa di tempat-tempat seperti itu sangat rawan.

Dalam satu TPS melibatkan 6 orang petugas. Berarti jika dalam 1 RW ada 14 TPS, sudah ada 84 petugas. Dalam satu kelurahan (6 RW) akan melibatkan 504 orang petugas belum termasuk petugas PPS, kemudian mengerucut ke PPK dan kota/kabupaten. Jumlah petugas tersebut jika ditotal luar biasa banyak. Hal itu, sama saja dengan mengalirkan uang ke sungai besar. Itulah maksud saya “rawan”. Namanya juga “sungai”, jika tidak dibendung pasti akan mengalir sampai jauh!

Belum lagi ditambah dengan biaya pencetakan kertas suara, stiker KPU, pembuatan bilik suara, ATK dan segala macam pernak-pernik pemilihan, menambah panjang dan besar jaring-jaring kerawanan penyimpangan keuangan.

Di tempat lain, ketika proses penghitungan suara di TPS selesai, selanjutnya dihitung di tingkat kelurahan dengan memberikan bukti berupa Berita Acara Pemilihan Umum. Setelah itu direkap di tingkat kecamatan. Baru kemudian di tingkat kota/kabupaten.

Meski proses penghitungan itu dikawal ketat, tetapi masih ada saja kecurangan di sana-sini. Di sebuah pulau di Jawa Timur, penghitungan di TPS, kelurahan, kecamatan aman-aman saja. Ehhh, di tingkat kota jadi berubah! Entah bagaimana cara para oknum ini melakukan. Yang jelas, proses penghitungan secara manual ternyata sangat mudah ditembus oleh kecurangan.

Pilkada cap jempol/KTP

Ketika membayar tagihan listrik/telepon ke bank, secara tidak sengaja saya mendapatkan kejutan. Tagihan listrik dan telepon yang akan saya bayar ditolak dengan sopan oleh teller.

Maaf, Pak. Tagihan Bapak sudah dibayar kemarin.”

Saya garuk-garuk kepala. Mana mungkin? Saya baru sempat bayar hari ini. Kok bisa terbayar? Usut punya usut, ternyata eyangnya anak-anak yang lagi datang dari kampung membayar listrik dan telepon untuk rumah di kampung, lewat agen pembayaran listrik/telepon di dekat rumah. Plus, tagihan listrik/telepon rumah saya di sini.

Tiba-tiba otak saya berputar cepat, andaikan proses pembayaran secara online ini diadopsikan untuk pilkada, pilcaleg, atau segala pemilihan yang lain (pilpres pun bisa), alangkah hebatnya. Hasil pemilu bisa didapatkan hari itu juga secara online. Cukup dengan menggesek KTP atau menancapkan salah jempol tangannya di mesin scanner. Begitu terdengar bunyi “bip”, terkirimlah sudah hak suaranya. Bukankah dulu pemerintah pernah menghimbau warga untuk cap seluruh jari tangan?

Bayangkan, data bergerak hasil pemilu langsung bisa dipantau oleh seluruh orang yang memerlukan secara cepat dan tepat. Tidak perlu lagi kertas untuk membuat berita acara. Tidak diperlukan lagi rapat-rapat penghitungan suara di tingkat kecamatan, kota/kabupaten atau bahkan tingkat provinsi. Semua terhitung dengan tepat, online dan bisa diakses oleh saluran televisi manapun dan kapanpun. Setiap hari, masyarakat dapat melihat perkembangan hasil penghitungan suara tanpa takut akan ada kesalahan pengisian berita acara, sehingga meminimalisir penggelembungan suara. Hebat kan?

Minim petugas, masimal pekerjaan

Seperti saya uraikan di atas, jumlah petugas mulai dari TPS sampai dengan PPS (desa/kelurahan), atau jika dihitung sampai PPK (kecamatan) memerlukan petugas yang banyak. Jumlah tersebut akan berkurang drastis jika memakai pilkada online.

Dalam satu kelurahan bisa jadi hanya ada lima TPS saja. Ditunggui oleh masing-masing enam petugas, yang bertugas secara shift 24 jam sehari selama dua hari. Masyarakat dihimbau untuk datang ke tempat pemilihan umum dan menyalurkan hak pilihnya dengan diberi kelonggaran waktu selama 48 jam.

Tidak hanya itu, pemilih bebas menyalurkan hak pilihnya di sembarang tempat dimana dia berada. Pemilih tidak harus datang ke kelurahan tempat dia tinggal. Bisa di kantor, pelabuhan, terminal, atau tempat-tempat yang dipasang mesin penghitung di seluruh wilayah provinsi. Bahkan kalau perlu se Indonesia. Toh, orang yang sudah menyalurkan hak suaranya tidak dapat mengulanginya lagi karena data-data dirinya sudah masuk ketika kali pertama dia memasukkan hak pilihnya. Seperti contoh pembayaran listrik yang saya sebutkan tadi.

Hanya diperlukan dua orang petugas saja yang mengarahkan, memandu atau memberi penjelasan. Selanjutnya, begitu masuk bilik pemungutan suara, semua terserah pemilih. Petugas-petugas ini tidak lagi direpotkan oleh penulisan berita acara yang super tebal dan tanda tangan sedemikian banyak. Kalau perlu, saksi pun hanya berdiam diri di kantor KPU sambil sekali-kali berkeliling memeriksa TPS-TPS yang dikehendaki. One more time, petugas minim tetapi pekerjaan maksimal.

Menghapus paradigma rekayasa

Sejak pertama kali pilkada digulirkan, sepertinya masyarakat sudah punya paradigma tak terbantahkan. Yaitu, “penuh rekayasa”. Saya menyadari betul, hal tersebut sulit dibuktikan tetapi ada di kenyataan. Meski ketahuan sekali pun, tidak ada tindak lanjut yang signifikan dari para penjaga keamanan negeri ini.

Proses perekayasaan biasanya berasal dari proses penghitungan yang masih bersifat manual. Namanya manual, tentu ada kesempatan untuk melakukan penyisipan-penyisipan kesalahan dalam laporan. Perkara tanda tangan saksi, cukup mudah untuk ditiru. Apalagi bila yang bertanda tangan cukup membubuhkan paraf saja, akan jauh lebih mudah dalam menjiplaknya.

Itu belum termasuk rekayasa umur, DPS dan DPT, serta berbagai administrasi lainnya yang cukup mudah ditembus dan direkayasa.

Dengan pilkada online, proses perekayasaan akan lebih sulit dilakukan. Tidak setiap orang dapat melakukan kecurangan. Petugas KPU dan stakeholder dapat terus memantau serta mengawasi kawasan IT-nya secara ketat. Dimulai dari programer, maintenance komputer, software serta hardwarenya. Termasuk petugas pendeteksi hacker (para perusak data), yang dipilih dari orang-orang yang benar-benar menjunjung tinggi aspek kejujuran.

Maka, bukan tidak mungkin jika KPU bisa melaksanakan Pilkada secara online karena Teknologi Informasi sudah bukan barang baru di negeri ini.